BEST PRACTICE
Berbagi Praktik Baik Pelatihan Guru KKA – Koding Kecerdasan Artifisial
Metode STAR (Situasi, Tantangan, Aksi, Refleksi)
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan kesempatan yang diberikan, sehingga saya dapat mengikuti Pelatihan Guru KKA (Koding Kecerdasan Artifisial) sekaligus membagikan praktik baik ini kepada rekan guru dan siswa di kelas.
Bagi saya, berbagi praktik baik bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi juga tentang menyalakan semangat dan menularkan keberanian. Saya percaya, ilmu yang dipelajari seorang guru tidak seharusnya berhenti di meja pelatihan atau laptop pribadi. Ilmu itu harus bergerak, mengalir, dan menyentuh banyak orang.
Dokumen ini adalah catatan perjalanan saya dalam berbagi praktik baik. Saya mencoba menyusun pengalaman ini dengan metode STAR (Situasi, Tantangan, Aksi, Refleksi) agar lebih mudah dipahami. Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi, motivasi, sekaligus bahan pembelajaran untuk kita semua dalam mengembangkan pendidikan berbasis teknologi di era digital.
Majene, Oktober 2025
Penulis
Klik Disini File
Isi Best Practice
Setelah mengikuti pelatihan KKA, saya merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri saya. Selama ini, saya melihat teknologi—terutama koding dan kecerdasan artifisial—sebagai sesuatu yang “jauh” dari keseharian guru. Namun, pelatihan membuka mata saya bahwa koding dan AI justru bisa sangat dekat, bahkan bisa menjadi bagian dari aktivitas belajar mengajar sehari-hari.
Saya kemudian memperhatikan lingkungan sekitar. Di ruang guru, saya mendapati masih banyak rekan guru yang merasa kurang percaya diri dalam memanfaatkan teknologi. Sebagian hanya menggunakan laptop untuk mengetik RPP atau mengolah nilai di Excel. Padahal, potensi teknologi jauh lebih besar dari itu.
Di sisi lain, ketika saya masuk kelas, saya melihat siswa-siswa saya begitu fasih menggunakan gawai. Mereka bisa dengan cepat mencari video di YouTube, mengedit foto, bahkan memainkan game online yang rumit. Ironisnya, keterampilan itu jarang mereka gunakan untuk mendukung pembelajaran.
Situasi ini membuat saya berpikir: “Kalau saya hanya berhenti pada diri sendiri, lalu siapa yang akan menghubungkan jurang digital antara guru dan siswa ini?” Dari situlah, saya memutuskan untuk melakukan berbagi praktik baik, baik kepada teman guru maupun siswa di kelas.
Dalam perjalanan berbagi, tantangan selalu muncul. Tidak semuanya berjalan mulus seperti yang saya bayangkan.
Pertama, saya menghadapi perbedaan tingkat pemahaman antar guru. Ada guru yang langsung bisa menangkap ketika saya menjelaskan konsep dasar AI, tapi ada juga yang mengernyitkan dahi karena masih asing dengan istilah-istilah sederhana seperti prompt atau coding block. Saya harus sabar mengulang, mencari kata-kata yang lebih sederhana, bahkan memakai analogi sehari-hari seperti “AI itu seperti murid yang pintar, tapi tetap harus diberi instruksi jelas.”
Kedua, saya melihat rasa minder dan takut salah. Beberapa rekan guru berkata, “Ah, itu bukan bidang saya, nanti kalau saya coba malah salah.” Sementara siswa juga ada yang ragu ketika saya minta mereka membuat animasi di Scratch. Mereka takut hasilnya jelek, padahal saya sudah jelaskan bahwa salah itu bagian dari belajar. Klik Disini File
Ketiga, ada keterbatasan perangkat. Tidak semua guru punya laptop dengan spesifikasi mumpuni. Beberapa siswa pun harus bergantian memakai laptop karena jumlahnya terbatas. Situasi ini membuat proses berbagi harus kreatif—saya tidak bisa hanya mengandalkan praktik individu, tetapi harus mengatur kerja kelompok dan berbagi peran.
Tantangan terakhir, dan menurut saya paling besar, adalah mengaitkan teknologi dengan pembelajaran nyata. Bagaimana caranya membuat guru merasa bahwa AI bisa membantu mereka mengajar Matematika atau Bahasa Indonesia, bukan sekadar teknologi keren yang “jauh dari kelas”? Bagaimana siswa bisa menyadari bahwa animasi atau AI bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga bisa membuat belajar lebih menarik? Itulah pertanyaan yang terus mengiringi perjalanan saya.
Menghadapi tantangan tersebut, saya mengambil langkah-langkah konkret.
1. Berbagi dengan Teman Guru
Saya memulai dari yang paling sederhana: mengajak ngobrol santai di ruang guru. Saya tidak langsung bicara soal “AI yang kompleks,” melainkan saya tunjukkan hal kecil yang bisa membantu pekerjaan mereka. Misalnya, bagaimana AI bisa membuat soal latihan dengan cepat, atau bagaimana AI bisa merangkum materi panjang menjadi poin-poin singkat.
Saat beberapa guru mulai tertarik, saya mengajak mereka mencoba langsung. Ada momen lucu ketika seorang guru senior tersenyum lebar karena “AI bisa bikin soal pilihan ganda hanya dalam hitungan detik.” Dari situ saya merasa, keberhasilan kecil seperti itu bisa menumbuhkan rasa percaya diri.
Saya juga memperkenalkan Scratch sebagai aplikasi koding visual. Awalnya, banyak yang menganggap koding itu hanya tentang angka dan rumus. Namun ketika saya perlihatkan bahwa dengan drag-and-drop blok kode mereka bisa membuat karakter bergerak, guru mulai melihat koding sebagai sesuatu yang menyenangkan dan bisa diajarkan ke siswa.
2. Berbagi dengan Siswa di Kelas
Di kelas, saya memulai dengan cerita. Saya bertanya, “Siapa di sini yang pernah nonton video yang direkomendasikan YouTube?” Hampir semua siswa mengangkat tangan. Dari situ saya jelaskan bahwa rekomendasi itu bukan kebetulan, melainkan hasil kerja AI. Seketika, wajah mereka terlihat antusias.
Saya kemudian mengajak mereka praktik membuat animasi di Scratch. Ada siswa yang berhasil membuat karakter berjalan, ada juga yang karakternya malah terbang ke luar layar. Kami tertawa bersama, dan saya gunakan momen itu untuk menegaskan bahwa “kesalahan adalah bagian dari proses belajar.”
Saya juga menugaskan siswa mencoba menggunakan AI untuk membuat ringkasan materi pelajaran. Setelah itu, saya minta mereka membandingkan hasil AI dengan catatan mereka sendiri. Diskusi yang muncul justru menarik: ada yang bilang ringkasan AI terlalu singkat, ada yang menilai sudah cukup membantu. Dari situ siswa belajar bukan hanya menerima hasil AI mentah-mentah, tetapi juga mengkritisinya. Klik Disini File
3. Kolaborasi dan Budaya Belajar
Saya sengaja menciptakan suasana kolaboratif. Guru yang lebih cepat paham saya jadikan mentor bagi guru lain. Siswa pun saya bagi kelompok, sehingga yang lebih mahir bisa membantu temannya. Saya menekankan bahwa “lebih baik belajar bersama daripada belajar sendiri-sendiri”.
Suasana belajar pun menjadi lebih cair. Guru yang biasanya kaku mulai berani mencoba, siswa yang biasanya hanya pasif mulai aktif bertanya. Rasanya menyenangkan melihat ruang kelas berubah menjadi laboratorium kecil tempat semua orang berani bereksperimen.
Setelah beberapa kali berbagi praktik baik, saya merenung. Ada beberapa hal penting yang saya pelajari.
Pertama, saya semakin yakin bahwa ilmu akan hidup ketika dibagikan. Rasa lelah saya terbayar saat melihat rekan guru tersenyum puas karena bisa membuat media belajar sederhana dengan bantuan AI. Saya merasa apa yang saya pelajari tidak sia-sia, karena sudah menyalakan semangat baru pada orang lain.
Kedua, saya belajar bahwa mindset lebih penting daripada kemampuan teknis. Banyak guru dan siswa yang sebenarnya mampu, tetapi terhalang rasa takut salah. Begitu mereka berani mencoba, kemampuan mereka berkembang lebih cepat dari yang saya bayangkan.
Ketiga, kolaborasi adalah kekuatan terbesar. Saya tidak bisa membayangkan jika semua proses belajar ini dilakukan secara individual. Dengan peer teaching dan kerja kelompok, suasana belajar lebih menyenangkan, dan hasilnya lebih terasa.
Keempat, saya menyaksikan manfaat langsung di kelas. Ada guru yang mulai menggunakan AI untuk membantu membuat bahan ajar, ada siswa yang lebih kritis terhadap informasi digital. Perubahan kecil ini memberi harapan bahwa pembelajaran kita bisa terus relevan dengan zaman.
Penutup
Dari pengalaman ini, saya menyadari satu hal penting: berbagi praktik baik bukan sekadar membagi ilmu, tetapi membagi semangat dan keberanian.
Transformasi pendidikan di era digital bukanlah hal yang instan. Ia lahir dari keberanian guru untuk mencoba, kesediaan siswa untuk bereksperimen, dan kemauan semua pihak untuk terus belajar. Melalui berbagi praktik baik, saya merasa ikut menjadi bagian kecil dari gerakan perubahan itu.
Saya berharap catatan ini bisa menginspirasi guru lain untuk melakukan hal serupa. Tidak harus menunggu sempurna, karena sesungguhnya praktik baik bisa dimulai dari langkah kecil: satu percobaan, satu kelas, satu guru, satu siswa. Dari situlah perubahan besar akan lahir.
Komentar0