BSClGSO9TSG9TSYoTSr9TSdiTY==

4 Kesalahan Fatal Cara Berpikir Kita tentang Pendidikan di Indonesia (Menurut Sains)



Dari Berita Viral ke Akar Masalah

Beberapa waktu lalu, linimasa kita diramaikan oleh berita yang mengkhawatirkan: seorang siswa SMP di Buleleng, Bali, ternyata tidak bisa membaca dan menulis. Fenomena ini diperkuat dengan banyaknya konten di media sosial yang menunjukkan siswa SMA gagal menjawab soal berhitung dasar.

Kejadian-kejadian ini bukanlah insiden terisolasi. Ini adalah gejala dari masalah yang jauh lebih dalam dan sistemik pada fondasi pendidikan kita. Masalahnya bukan pada anak-anak, melainkan pada cara kita, orang dewasa, merancang dan mengelola sistem pendidikan.

Untuk bisa memperbaikinya, kita harus terlebih dahulu memahami di mana letak kesalahan berpikir kita selama ini. Artikel ini akan mengupas tuntas empat kesalahpahaman utama dalam cara kita memandang pendidikan, berdasarkan data dan analisis, bukan sekadar opini.

Menjiplak Sistem Pendidikan Negara Maju Tanpa Konteks

Setiap kali diskusi tentang masalah pendidikan Indonesia muncul, hampir pasti ada yang berkomentar, "Tapi di Finlandia begini..." atau "Kalau di Jepang begitu...". Saat membahas kurikulum, ada yang menyarankan meniru Norwegia. Saat membahas ujian nasional, ada yang menunjuk Finlandia.

Sekilas, komentar seperti ini terdengar masuk akal—alias akal siput. Cara berpikir seperti ini adalah sebuah kekeliruan fatal karena mengadopsi sistem negara maju secara membabi buta sama sekali tidak akan berhasil. Kita mengabaikan konteks dan kondisi awal kita yang fundamental.

Analogi terbaik untuk menjelaskan kekeliruan ini adalah seperti membangun rumah:

"cara berpikir kayak gitu tuh ibarat kita lagi bangun rumah ya kan terus kita lihat tetangga kita nih lagi bangun rumah juga oh dia lagi masang genteng tuh di lantai dua oke kita jiplak itu kita pesan genteng untuk dipasang di lantai dua padahal bangunan rumah kita baru sampai cakar ayam ya jadi tukang pun bingung mau naruh gentengnya di mana."

Metode pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang akan dididik. Kita tidak bisa meniru hasil akhir dari negara lain yang sudah memiliki fondasi yang sama sekali berbeda. Kesalahan ini membawa kita pada kekeliruan fundamental kedua: kita tidak tahu di level mana kita berdiri.

Mengabaikan Level Kita yang Sebenarnya

Sebuah penelitian dari McKinsey, yang ditemukan melalui salah satu post Zenius, menganalisis data dari 20 negara dengan peningkatan pendidikan pesat (seperti Singapura dan Korea Selatan) dan menemukan sebuah pola. Negara-negara sukses ini menyusun metode pendidikan mereka sesuai dengan level kondisi pendidikan mereka saat itu.

Kerangka kerja McKinsey membagi level kondisi pendidikan suatu negara ke dalam lima tahap: POOR, FAIR, GOOD, GREAT, EXCELLENT (Level 1 hingga 5). Negara yang berhasil adalah negara yang tahu posisinya dan menerapkan strategi yang tepat untuk naik ke level berikutnya.

Lalu, di mana posisi Indonesia? Berdasarkan data-data literasi dasar yang tersedia, kita bisa menyimpulkan bahwa posisi pendidikan kita berada di Level 1 (POOR).

Penting untuk dipahami, level ini dinilai bukan dari adanya segelintir anak jenius atau peraih medali olimpiade sains. Level ini dinilai dari kondisi secara umum: bagaimana kualitas SDM dan kemampuan dasar anak-anak secara merata. Mengetahui level ini sangatlah krusial. Ini berarti fokus utama dan satu-satunya bagi kita seharusnya adalah bergerak dari Level 1 ke Level 2. Misi kita adalah membangun kemampuan dasar (membaca, menulis, berhitung) secara masif. Meniru kurikulum negara Level 4 yang ingin naik ke Level 5 adalah tindakan sia-sia yang tidak akan pernah berhasil.

Fokus pada Isu Sekunder, Bukan Dua Pilar Utama

Untuk berhasil naik dari Level 1 (POOR) ke Level 2 (FAIR), ada dua "titik tumpu" yang harus menjadi prioritas absolut. Sayangnya, kita sering kali sibuk membahas isu-isu sekunder dan mengabaikan dua pilar fundamental ini. Kompetensi guru dan teknologi menyediakan input berkualitas, sementara asesmen terstandar memastikan output yang terukur. Keduanya adalah sisi dari mata uang yang sama: sebuah sistem yang benar-benar berfungsi.

  • Pilar Pertama: Kompetensi Guru & Teknologi. Kesejahteraan guru memang penting, tetapi kompetensi guru adalah kunci yang tidak bisa ditawar. Kita harus memastikan guru tidak hanya menguasai materi dasar, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengajarkannya secara efektif. Solusi strategisnya adalah kolaborasi masif antara guru di lapangan dengan sumber daya dari platform online learning (EdTech). Di Indonesia, ekosistem ini sudah kaya dengan pemain seperti Zenius, Ruang Guru, Sekolahmu, Smartrik, dan Pahamify. Mereka memiliki pengajar-pengajar terbaik dan teknologi—apalagi dengan adanya AI—yang dapat membuat proses belajar jauh lebih efektif. Peran negara adalah membangun jembatannya: infrastruktur internet dan perangkat digital.
  • Pilar Kedua: Penegakan Aturan (Enforcement) & Asesmen Terstandar. Kita memerlukan sebuah sistem untuk memastikan kompetensi siswa benar-benar tercapai, bukan sekadar basa-basi naik kelas. Ini bisa dicapai melalui asesmen terstandar nasional yang menjadi alat ukur objektif untuk kenaikan kelas atau kelulusan. Sistem ini akan mencegah akumulasi ketidakmampuan. Jangan sampai terjadi situasi di mana siswa "tahu-tahu disuruh belajar kalkulus padahal number sense enggak punya atau tahu-tahu disuruh bikin makalah padahal struktur kalimat belum menguasai."

Memberi Insentif pada Hasil Akhir, Bukan pada Kemajuan

Ini mungkin gagasan yang terdengar radikal, tetapi sangat logis: performa sekolah dan guru seharusnya tidak diukur dari nilai akhir muridnya. Sistem insentif yang ada saat ini sering kali salah sasaran karena hanya menghargai hasil, bukan proses.

Sistem yang lebih adil dan efektif seharusnya bekerja seperti ini:

  1. Tes Diagnostik Awal: Sebelum seorang murid masuk ke sekolah, lakukan tes diagnostik terstandar untuk memetakan level kemampuan awalnya secara objektif.
  2. Ukur Loncatan Perkembangan: Performa sekolah dan guru diukur berdasarkan "loncatan perkembangan" siswa. Seberapa jauh kemajuan yang dicapai seorang siswa dari titik awal mereka saat masuk hingga saat mereka lulus?

Sebagai contoh, sekolah yang menerima murid dengan kemampuan awal rendah namun berhasil meningkatkan kemampuannya secara signifikan hingga lulus harus mendapat insentif terbesar. Sebaliknya, sekolah "unggulan" yang dari awal sudah menerima murid-murid berkemampuan tinggi tidak perlu mendapat insentif besar, karena pada dasarnya mereka "tidak membawa anaknya ke mana-mana".

Sistem ini memberi penghargaan pada kerja keras yang sesungguhnya dan mendorong sekolah untuk fokus pada proses perkembangan setiap anak, bukan sekadar menyaring bibit unggul.

Membangun Fondasi, Bukan Istana Pasir

Tanggung jawab utama pendidikan publik bukanlah sekadar mencetak segelintir SDM unggulan untuk memenangkan olimpiade sains. Tanggung jawab utamanya adalah membangun fondasi kemampuan dasar yang kokoh untuk seluruh anak bangsa. Dari fondasi inilah semua kemajuan lainnya akan dibangun.

Seperti yang disimpulkan dalam analisis ini:

"kalau kemampuan dasarnya udah enggak kuat ya kan apapun program atau metode belajar canggih yang dibangun di atasnya itu udah pasti runtuh."

Setelah memahami fondasi yang keropos ini, menyebarkan gagasan ini adalah langkah pertama. Memastikan para pembuat kebijakan mendengarkan adalah langkah berikutnya. Apa yang akan Anda lakukan untuk menjadi bagian dari solusi?

sumber Youtube Malaka

Komentar0

Type above and press Enter to search.